Beranda | Artikel
Mereka adalah Orang-Orang yang Khusyuk dalam Salat (Bag. 2)
Jumat, 11 Agustus 2023

Renungan ketika rukuk dan iktidal

Zikir salat yang paling afdal adalah zikir-zikir yang dibaca ketika berdiri. Adapun posisi yang paling baik adalah ketika dalam posisi berdiri. Ketika berdiri tersebut, dikhususkan dengan membaca pujian, sanjungan untuk Allah Ta’ala, juga membaca kalam Allah Ta’ala (Al-Qur’an). Oleh karena itu, terlarang membaca Al-Qur’an ketika rukuk dan sujud. Karena dua posisi tersebut adalah posisi yang menunjukkan kehinaan, perendahan diri, dan ketundukan. Oleh karena itu, dalam rukuk dan sujud tersebut disyariatkan zikir yang selaras dengan posisi tersebut. Sehingga dalam posisi rukuk tersebut disyariatkan untuk menyebutkan keagungan Allah Ta’ala, bahwa Allah Ta’ala disifati dengan sifat-sifat yang menunjukkan keagungan dan kebesaran.

Zikir paling utama yang dibaca ketika rukuk adalah,

سبحان ربي العظيم

Mahasuci Allah, Zat Yang Mahaagung.”

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk membaca zikir tersebut. Ketika turun ayat,

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

“fasabbih bismirabbikal ‘adzim”

“(maka sucikanlah dengan nama Rabb-mu yang Mahaagung).” (QS. Al-Waqi’ah: 74)

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اجْعَلُوهَا فِي رُكُوعِكُمْ

Jadikanlah sebagai bacaan rukuk kalian.” (HR. Ahmad no. 17414, Abu Dawud no. 869, dinilai dha’if oleh Al-Albani dalam Dha’if Abu Dawud no. 152)

Ringkasnya, rahasia rukuk adalah pengagungan Allah Ta’ala, baik dengan hati, ucapan, maupun perbuatan anggota badan. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ

Adapun ketika rukuk, agungkanlah Rabb kalian.” (HR. Muslim no. 479)

Kemudian dia mengangkat kepalanya untuk kembali ke posisi yang paling sempurna, yaitu posisi berdiri. Syiar dalam posisi ini (yaitu posisi iktidal) adalah pujian dan sanjungan untuk Allah Ta’ala. Syiar ini dimulai dengan ucapan,

سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه

“sami’allahu liman hamidahu”

“(Allah mendengar orang yang memujinya.)”

Yaitu, “mendengar” dalam arti “mengabulkan permohonan (doa)”. Kemudian dia pun melengkapi bacaan tersebut dengan mengucapkan,

ربَّنا ولك الحمدُ، مِلْءَ السَّمواتِ، والأرضِ، ومِلْءَ ما بينهما، ومِلْءَ ما شِئتَ مِن شيءٍ بعدُ

“Rabbana wa lakal hamdu, mil’as samawati wal-ardhi, wa mil’a ma bainahuma, wa mil’a ma syi’ta min syai’in ba’du.”

“(Wahai Rabb kami dan segala puji bagi-Mu, pujian sepenuh langit dan bumi, sepenuh di antara langit dan bumi, dan sepenuh apa yang Engkau inginkan lebih dari itu semua.)”

Dan janganlah kita melalaikan untuk membaca huruf “و” ketika mengucapkan,

ربَّنا ولك الحمدُ

Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan hal tersebut dalam Ash-Shahihain. (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411)

Huruf “و” tersebut menjadikan kalimat itu menjadi dua kalimat yang berdiri sendiri. Pada kalimat “ربَّنا” terkandung makna, “Engkaulah Rabbku, yang Maha berdiri sendiri, yang semua urusan berada di tangan-Nya, dan hanya kepada-Nyalah semua akan kembali.” Makna ini sesuai dengan kalimat selanjutnya, yaitu “ولك الحمدُ”.

Kemudian, kalimat zikir setelahnya menunjukkan bagaimanakah pujian dan keagungan Allah Ta’ala tersebut,

مِلْءَ السَّمواتِ، والأرضِ، ومِلْءَ ما بينهما، ومِلْءَ ما شِئتَ مِن شيءٍ بعدُ

… pujian sepenuh langit dan bumi, sepenuh di antara langit dan bumi, dan sepenuh apa yang Engkau inginkan lebih dari itu semua …

Yaitu, bahwa pujian tersebut sepenuh alam atas (langit), alam bawah (bumi), dan alam di antara langit dan bumi. Maka, pujian untuk Allah Ta’ala itu sepenuh makhluk yang ada, yaitu sepenuh makhluk yang telah Allah Ta’ala ciptakan dengan kehendak-Nya. Pujian untuk Allah Ta’ala itu memenuhi semua makhluk yang telah dan yang akan diciptakan.

Setelah zikir tersebut, terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menambahkan bacaan berikut ini,

أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Yang berhak atas segala pujian dan keagungan. Tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang dapat memberikan apa yang Engkau halangi. Dan tiada berguna kekuasaan bagi orang yang memilikinya atas siksa-Mu.” (HR. Muslim no. 471)

Pada kalimat “أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ” menunjukkan kembali permulaan rakaat salat, yaitu berupa pujian dan sanjungan untuk Allah Ta’ala.

Kemudian pada kalimat,

لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga membacanya ketika selesai salat. Sehingga pada dua kondisi (keadaan) ini, terkandung pengakuan terhadap tauhid, yaitu bahwa semua nikmat berada di tangan-Nya. Terdapat beberapa kandungan dari kalimat ini, yaitu:

Pertama, Allah Ta’ala adalah satu-satunya Zat yang memberi dan menahan nikmat.

Kedua, jika Allah Ta’ala ingin memberi, tidak ada satu pun makhluk yang mampu mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah Ta’ala menahan (tidak memberikan) nikmat, tidak ada satu pun makhluk yang mampu memberinya.

Ketiga, kekuasaan, kepemimpinan, dan kekayaan seseorang tidaklah bermanfaat dan tidak mampu menyelamatkan seseorang dari azab Allah Ta’ala. Yang bermanfaat hanyalah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.

Renungan ketika sujud

Kemudian kita bertakbir dan tersungkur di hadapan Allah Ta’ala dengan bersujud kepada-Nya. Disyariatkanlah sujud dalam kondisi yang paling sempurna, keadaan yang paling menunjukkan penghambaan diri kepada Allah Ta’ala, ketika setiap anggota badan memiliki porsi masing-masing dalam bentuk penghambaan diri (‘ubudiyyah) ini.

Sujud adalah rahasia salat, rukun salat yang paling agung, dan juga penutup setiap rakaat salat. Rukun-rukun salat sebelumnya seperti muqaddimah (pendahuluan) sebelum rukun yang paling agung ini. Oleh karena itu, keadaan yang paling mendekatkan seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika dia bersujud. Sehingga tidaklah mengherankan jika doa dalam kondisi tersebut memiliki peluang yang besar untuk dikabulkan oleh Allah Ta’ala.

Ketika Allah Ta’ala menciptakan manusia dari tanah, maka sudah selayaknya manusia kembali ke asal penciptaannya. Akan tetapi, tabiat manusia akan mengajak manusia tersebut untuk sombong dan tidak mau kembali ke asal usul penciptaannya. Oleh karena itu, manusia pun diperintahkan untuk bersujud kepada Allah Ta’ala dengan khusyuk, sebagai bentuk ketundukan, perendahan, dan penghinaan diri kepada Penciptanya. Kekhusyukan, ketundukan, dan perendahan diri ini telah mencakup semua makna ‘ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah Ta’ala), dan sebagai koreksi atas berbagai bentuk kelalaian dan berpalingnya seseorang dari asal usul penciptaannya.

Dia meletakkan bagian tubuhnya yang paling mulia, yaitu wajah, ke tanah yang dia diciptakan darinya. Sehingga jadilah bagian tubuhnya yang paling atas menjadi yang paling bawah, karena tunduk di hadapan Allah Ta’ala yang Mahaagung. Allah Ta’ala menciptakannya dari tanah yang merupakan tempat yang hina karena tempat berpijaknya telapak kaki. Dia pun akan kembali ke tanah, dan keluar darinya ketika hari kebangkitan.

Kesimpulannya, sujud adalah puncak kekhusyukan secara lahiriah. Juga mengumpulkan semua bentuk penghambaan (‘ubudiyyah) yang dilakukan oleh anggota badan.

Kembali ke bagian 1: Mereka adalah Orang-Orang yang Khusyuk dalam Salat (Bag. 1)

Lanjut ke bagian 3: [Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 4 Muharram 1445/ 22 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/86601-mereka-adalah-orang-orang-yang-khusyuk-dalam-salat-bag-2.html